Tidak banyak yang tahu bahwa perjalanan sistem keuangan Indonesia berakar dari semangat masyarakat desa. Jauh sebelum istilah inklusi keuangan menjadi populer, masyarakat telah mengenal berbagai bentuk lembaga simpan-pinjam sederhana, tempat mereka saling membantu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari. Dari praktik lokal inilah, konsep yang kemudian kita kenal sebagai Bank Perekonomian Rakyat (BPR) mulai bertumbuh.
Akar yang Tumbuh dari Desa
Sebelum istilah “BPR” lahir, masyarakat telah mengenal berbagai bentuk lembaga keuangan lokal seperti Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani, Bank Dagang, dan Badan Kredit Desa (BKD). Konsepnya sederhana namun revolusioner di masa itu, yaitu membantu petani dan pedagang kecil agar bisa mengakses modal tanpa terjerat bunga mencekik.
Menurut catatan Perbarindo, lembaga-lembaga seperti BKD mulai muncul di Jawa dan Bali sejak tahun 1929, bahkan lebih awal di beberapa daerah dengan nama berbeda. Filosofinya jelas, bahwa uang tidak boleh hanya berputar di kota, tapi juga harus menghidupi desa.
Pasca kemerdekaan, semangat tersebut terus hidup. Pemerintah dan masyarakat mendirikan berbagai lembaga keuangan rakyat seperti Bank Pasar dan Bank Karya Produksi Desa (BKPD) yang berfokus pada pembiayaan usaha kecil di daerah. Memasuki awal 1970-an, muncul pula Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) yang digagas pemerintah daerah untuk memperluas akses permodalan di tingkat desa.
Dari Deregulasi ke Legalitas Resmi
Lompatan besar terjadi di era 1980-an. Pada masa Presiden Soeharto, pemerintah menyadari pentingnya akses keuangan yang lebih luas hingga ke pelosok daerah. Maka lahirlah Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 (PAKTO 88), suatu kebijakan deregulasi perbankan di era Orde Baru yang membuka pintu bagi lahirnya bank-bank baru, termasuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Langkah tersebut menjadi tonggak sejarah penting bagi BPR. Di mana BPR kini berdiri secara legal, bukan sekadar lembaga keuangan tradisional.
Kemudian, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (yang diperbarui melalui UU No. 10 Tahun 1998) mempertegas posisi BPR sebagai bagian dari sistem perbankan nasional. BPR diatur memiliki fungsi menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan, serta menyalurkannya kembali sebagai kredit untuk mendukung kegiatan ekonomi lokal.
Hadir sebagai Bank yang Dekat dengan Masyarakat
Dalam perkembangannya, eksistensi BPR dikenal bukan karena gedungnya yang megah, melainkan karena kedekatannya dengan masyarakat. Nasabahnya bukan korporasi besar, tapi pedagang pasar, petani, hingga pelaku UMKM yang membutuhkan pinjaman cepat tanpa birokrasi rumit. Banyak masyarakat pedesaan yang merasa lebih nyaman berurusan dengan pegawai BPR, orang yang mereka kenal secara pribadi, yang tahu kondisi lapangan mereka, bukan sekadar angka di layar komputer.
Namun kekuatan BPR tak hanya di sisi penyaluran kredit. BPR juga menjadi tempat masyarakat menyimpan hasil jerih payah mereka dengan kepercayaan yang selalu dijaga. Mulai dari tabungan sederhana hingga deposito berjangka, semua dilayani dengan pendekatan personal yang jarang ditemukan di bank besar.
Nasabah bisa datang langsung ke kantor BPR dan berbincang dengan staf yang mereka kenal secara pribadi, bukan sekadar nomor antrean. Dalam banyak kasus, hubungan antara nasabah dan petugas BPR dibangun lewat percakapan sehari-hari.
Kedekatan inilah yang menjadi kekuatan utama BPR hingga kini. Ia bukan hanya lembaga keuangan, tapi juga mitra sosial dan emosional, yang memahami bagaimana masyarakat desa dan kota kecil mengelola uang mereka, dengan sederhana, tapi penuh makna.
BPR di Era Digital
Kini, BPR pun ikut berevolusi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong digitalisasi melalui inisiatif seperti BPR Go Digital, agar BPR tak tertinggal di tengah gempuran fintech dan bank digital. Beberapa BPR sudah mengintegrasikan layanan online untuk tabungan dan deposito, bahkan menggandeng fintech aggregator agar produk mereka bisa diakses lebih luas. Sebagaimana yang dilakukan Bank Danamas yang telah terintegrasi dengan aplikasi fintech Indosaku dan Lumbung Dana. Namun menariknya, meski dunia berubah digital, nilai-nilai awal BPR tetap sama: dekat, personal, dan berbasis kepercayaan.
Perjalanan BPR dari lumbung desa hingga menjadi lembaga keuangan modern adalah kisah tentang kemandirian ekonomi rakyat Indonesia. Ia bukan sekadar “bank kecil”, melainkan simbol bahwa akses finansial seharusnya inklusif, menjangkau siapa pun, di mana pun.
Sebagai bagian dari semangat itu, Bank Danamas terus berkomitmen menghadirkan layanan keuangan yang mudah diakses, aman, dan terpercaya. Mulai deposito, tabungan berjangka, Kredit Danamas Multiguna (KDM), hingga fintech channeling, agar setiap masyarakat, dari desa hingga kota, dapat tumbuh bersama dalam ekonomi yang lebih mandiri dan berkelanjutan.



